Catatan untuk Pengganti Ujian Nasional

Kamis, 30 Januari 2025 06:49 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Ujian
Iklan

Jangan sampai UN model terbaru dijadikan syarat kelulusan siswa. Dalam UU tidak disebutkan bahwa evaluasi dalam bentuk ujian menjadi syarat kelulusan siswa.

Oleh: Iwan Kartiwa, Kepala SMAN Situraja Kabupaten Sumedang

Dalam sejumlah tayangan di media sosial, disebutkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini yang dipimpin Bapak Abdul Mu’ti telah dan akan melakukan sejumlah program kerja pendidikan yang signifikan. Paling awal sejumlah program dan kegiatan yang masih memiliki substansi dan relevansi yang sama masih tetap dipertahankan dengan memberikan sejumlah perbaikan dan penyempurnaan. Atas dasar ini maka muncullah sejumlah istilah baru untuk menyebutkan hal-hal yang substansinya relatif sama telah dan akan mengalami revisi atau penyempurnaan lebih lanjut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam hal ini setidaknya sudah ada Sembilan item program/kegiatan dengan perubahan atau penggantian penyebutan istilah tersebut, yakni: 1). Pembelajaran bermakna menggantikan istilah meaningful learning, 2). Pembelajaran menyenangkan menggantikan joyful learning, 3). 8 (delapan) dimensi lulusan menggantikan, 6 (enam) profil pelajar Pancasila, 4). Sistem Domisili menggantikan/menyempurnakan sistem zonasi, 5). SPMB menggantikan PPDB, 6). Pengelolaan Kinerja menggantikan E-Kinerja, 7). Tes Kompetensi Akademik (TKA) menggantikan Ujian Nasional, 8). Pembelajaran Ramadhan menggantikan Libur Ramadhan, dan 9). Kenaikan 1 x gaji pokok untuk menggantikan istilah sertifikasi.

Khusus untuk Ujian Nasional atau UN, sekalipun muncul kembali wacana untuk mengaktifkan kembali sebuah sistem penilaian pendidikan berskala nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah, namun hal ini menjadi sebuah kehati-hatian agar beban psikologis dan tekanan dari sistem penilaian ini tidak lagi berdampak negatif baik pada peserta didik, guru, sekolah (kepala sekolah), maupun daerah (kepala dinas Pendidikan dan kepala daerah).

Atas dasar hal itu maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah sudah merumuskan sebuah sistem penilaian Pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) yang bernama Tes Kompetensi Akademik. Bagaimana mekanisme penyelenggaraanya, Kemendikdasmen berjanji akan mengumumkannya sebelum Idul Fitri 2025.

Terkait bagaimana rambu-rambu pelaksanan pengganti UN tersebut, sejumlah pejabat tinggi di Kemendikdasmen memberikan sejumlah gambaran atau rambu-rambu umum yang bersumber dari pernyataan Mendikdasmen, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Prof. Toni Toharudin serta Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen, Prof. Biyanto. Rambu-rambu tersebut meliputi: TKA sebagai pengganti istilah UN, waktu TKA tahun 2025 pada bulan November, berlaku untuk kelas 12, untuk jenjang SMP sederajat berlaku tahun 2026, dan hanya untuk sekolah yang terakreditasi.

Pertama, TKA sebagai pengganti istilah UN. Pada pelaksanaannya nanti, kata Prof. Mu'ti, pemerintah tidak akan menggunakan istilah 'ujian' dalam pelaksanaan UN. "Nanti tidak akan ada kata-kata ujian lagi kata-kata ujian tidak ada, nah kata penggantinya apa nanti tunggu sampai (aturan) terbit," kata Prof. Mu'ti.

Kedua, waktu TKA tahun 2025 pada bulan November. Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Prof. Toni Toharudin mengatakan, tingkat SMA sederajat akan menggelar UN pada November 2025. "Akan diimplementasikan ke tingkat SMA, SMK dan MA di bulan November 2025," kata Prof. Toni di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Senin (20/1/2025) sebagaimana dikutip Kompas.com 21/01/2025, 10:13 WIB.

Ketiga, berlaku untuk kelas 12 SMA/sederajat pada bulan November mendatang. Artinya kelas 12 pada bulan November tersebut adalah mereka, peserta didik yang saat ini sedang berada di kelas 11. Sebab kelas 12 nya dipastikan sudah mengakhiri masa studinya pada sekitar bulan Maret setelah pelaksanaan Ujian Sekolah.

Keempat, jenjang SD-SMP sederajat berlaku tahun 2026. Sementara untuk jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), kata Prof. Toni, akan digelar pada tahun 2026 mendatang. "Untuk kelas 6 (SD) dan 9 (SMP) itu akan diberlakukan tahun depan," ujarnya.

Kelima, hanya untuk sekolah yang terakreditas. Hal ini ditegaskan Mendikdasmen, Prof. Mu'ti, bahwa pelaksanaan UN hanya digelar oleh sekolah yang sudah terakreditasi dan tidak akan langsung digelar pada tahun 2025 tetapi bertahap. "Kami tegaskan bahwa yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi," ucap Prof. Mu'ti.

Untuk merealisasikan pengganti UN ini memang pemerintah perlu mendapatkan masukan dari semua pihak, agar orientasi dan eskes negative dari pelaksanaan UN pada masa sebelumnya tidak terjadi lagi. Salah satu caranya dapat merespon sejumlah usulan dan catatan yang disampaikan oleh sejumlah pihak.

Salah satunya yang yang disampaikan oleh Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidik dan Guru (P2G). Sejumlah usulan dan catatan yang disampaikan adalah: 1). Pengganti UN jangan jadi penentu kelulusan.

Catatan pertama dan yang menjadi konsen P2G kata Satriwan, jangan sampai UN model terbaru ini dijadikan standar atau syarat kelulusan siswa. Satriwan membenarkan bahwa amanat dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tepatnya Pasal 57, 58, dan 59 bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi pendidikan. Namun dalam aturan itu tidak disebutkan kalau evaluasi itu dilakukan dalam bentuk ujian dan menjadi syarat kelulusan siswa.

"Jadi high risk testing gitu. Nah kan, dan lagi pula untuk menentukan kelulusan itu dikatakan di dalam UU Sisdiknas di Pasal 57, 58, 59 penentuan kelulusan murid itu ditentukan oleh pendidik atau guru di sekolah, bukan oleh negara," ujarnya.

2). Soal penentuan skema. Skema dari UN sendiri harusnya ditentukan dengan melibatkan stakeholder di bidang pendidikan. Mulai dari guru, dinas pendidikan setempat bahkan hingga orangtua siswa harus dilibatkan dalam penentuan skema UN versi baru. 3). Jangan rugikan siswa.  Pada dasarnya ia setuju jika evaluasi pendidikan kembali diadakan. Namun yang harus diperhatikan pemerintah adalah jangan sampai evaluasi itu merugikan siswa dalam berbagai macam aspek.

Lalu 4). Jangan boros anggaran Selain itu, pada pelaksanaan evaluasi pendidikan yang di gagasan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasme) Prof. Abdul Mu'ti juga sebaiknya memperhatikan anggaran. Evaluasi pendidikan adalah amanat dari UU Sisdiknas. Tetapi jangan sampai terlalu membebani dengan jumlah anggaran terlalu besar. Contoh UN terakhir dilaksanakan tahun 2021 dan telah memakan anggaran 500 milyar, nominal angka yang sangat besar 5). Tidak cocok jika UN dijadikan salah satu cara untuk seleksi masuk perguruan tinggi negeri karena sistem penilaian yang berbeda antara di sekolah dan penilaian seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

Demikian tadi salah satu usulan dan catatan untuk perbaikan pengganti UN kedepan. Catatan lainnya sangat mungkin dapat berasal dari unsur dan kalangan lainnya. Pada prinsipnya sama, semua pihak merindukan adanya sebuah sistem penilaian/evaluasi nasional yang mengedepankan prinsip-prinsip: 1. Valid artinya Sistem penilaian harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur, yaitu kemampuan dan kompetensi peserta didik. 2. Reliabel bermakna Sistem penilaian harus dapat memberikan hasil yang konsisten dan dapat diandalkan. 3. Objektif, artinya Sistem penilaian harus bebas dari bias dan subjektivitas.

Lalu 4. Transparan yaitu Sistem penilaian harus jelas dan terbuka, sehingga peserta didik dan orang tua dapat memahami kriteria penilaian. 5. Akuntabel ialah Sistem penilaian harus dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki standar yang jelas. 6. Berorientasi pada Pembelajaran bermakna Sistem penilaian harus berfokus pada proses pembelajaran dan tidak hanya pada hasil akhir. 7. Menggunakan Berbagai Metode: Sistem penilaian harus menggunakan berbagai metode, seperti penilaian tertulis, praktik, dan proyek. 8. Menggunakan Teknologi: Sistem penilaian harus memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi penilaian. 9. Melibatkan Berbagai Pihak: Sistem penilaian harus melibatkan berbagai pihak, seperti guru, orang tua, dan peserta didik, dan 10. Berbasis pada Standar: Sistem penilaian harus berbasis pada standar yang jelas dan telah disepakati.

Sebaliknya semua pihak tidak menginginkan sebuah sistem penilaian/evaluasi nasional yang memunculkan sejumlah sisi buruk yang masih menyisakan trauma atas sisi-sisi buruk ujian nasional yang pernah terasakan oleh bangsa ini. Sisi-sisi buruk itu meliputi antara lain: tekanan psikologis, terlalu fokus pada ujian saja, biaya yang mahal,  ketergantungan pada soal-soal, tidak mengukur kemampuan sebenarnya, menimbulkan kekhawatiran dan stres, tidak adil. artinya ujian nasional dapat tidak adil, karena tidak memperhatikan perbedaan individu dan latar belakang sosial-ekonomi siswa, mengabaikan mreativitas, tidak mengukur kemampuan berpikir kritis dan  mengabaikan pengembangan karakter.

 

 

 

           

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iwan Kartiwa

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Catatan untuk Pengganti Ujian Nasional

Kamis, 30 Januari 2025 06:49 WIB
img-content

Wacana TNI Matra Siber dari Jalur SMA

Selasa, 8 Oktober 2024 08:55 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Pendidikan

Lihat semua